} -->
AMG clinic, ditangani Terapis berpengalaman lebih dari 10 tahun. Terdaftar di YAYASAN AUTIS INDONESIA. Pernah Menjadi Nara Sumber dalam Acara "Diary Bunda" ANTV, info lengkap klik disini
Anda Juga dapat mengakses www.amgclinic.com

Penanganan Dini Bagi Anak Autis

Sepuluh tahun lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri. Kini, kemajuan teknologi kedokteran telah berhasil menyingkap penyebabnya. Penanganan sejak dini akan menaikkan derajat kehidupan para penyandang.

Memasuki era globalisasi, ketika komunikasi antarmanusia di seluruh belahan bumi sudah demikian mudahnya, masih ada saja sekelompok manusia yang tersisih. Tersisih, karena mereka tidak mampu mengadakan komunikasi dengan orang yang paling dekat sekalipun. Mereka sulit mengekspresikan perasaan dan keinginan. Mereka juga hidup terkurung dalam dunianya sendiri yang sepi, menunggu uluran tangan orang lain untuk menariknya keluar, ke dunia yang lebih bebas.

Autisma merupakan gangguan perkembangan yang berat pada anak. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan yang terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi, dan perilaku.
Pada usia 2 – 3 tahun, di masa anak balita lain mulai belajar bicara, anak autis tidak menampakkan tanda-tanda perkembangan bahasa. Kadangkala ia mengeluarkan suara tanpa arti. Namun anehnya, sekali-kali ia bisa menirukan kalimat atau nyanyian yang sering didengar. Tapi bagi dia, kalimat ini tidak ada maknanya. Kalau pun ada perkembangan bahasa, biasanya ada keanehan dalam kata-katanya. Setiap kalimat yang diucapkan bernada tanda tanya atau mengulang kalimat yang diucapkan oleh orang lain (seperti latah). Tata bahasanya kacau, sering mengatakan “kamu” sedangkan yang dimaksud “saya”.
Anak autis juga acapkali melakukan gerakan aneh yang diulang-ulang. Misalnya duduk sambil menggoyang-goyangkan badannya secara ritmis, berputar-putar dan mengepak-ngepakkan lengannya seperti sayap. Ia bisa terpukau pada anggota tubuhnya sendiri, misalnya jari tangan yang terus menerus digerak-gerakkan dan diperhatikan. Penyandang juga suka bermain air dan memperhatikan benda yang berputar, seperti roda sepeda atau kipas angin. Sikapnya sangat cuek. Kadang melompat-lompat, mengamuk atau menangis tanpa sebab, anak autis sulit dibujuk; ia bahkan menolak untuk digendong atau dirayu oleh siapapun.
Beruntunglah penderita yang segera bertemu dengan seorang profesional yang mampu mendiagnosis gangguan secara cepat dan tepat. Tidak asal mengutarakan diagnosis semu, misalnya mengatakan, “Anak ini sehat, Bu, hanya bicaranya agak terlambat. Anak laki-laki memang suka lebih lambat bicaranya.”

Bila 10 – 20 tahun lalu jumlah penyandang autisma hanya 2 – 4 per 10.000 anak, tiga tahun belakangan jumlah tersebut meningkat menjadi 15 – 20 anak atau 1 per 500 anak. Tahun lalu, di AS ditemukan 20 – 60 anak, kira-kira 1/200 atau 1/250 anak.

Di Indonesia pendataan belum pernah dilakukan, namun para profesional yang menangani anak melaporkan, peningkatan jumlah penyandang autisma amat pesat. Sayang, tidak diimbangi dengan meningkatnya jumlah ahli yang mendalami bidang autisma, sehingga acapkali terjadi salah diagnosis.
Tentu saja ini sangat meresahkan. Penyandang autisma yang tidak tertangani dengan tepat, kemungkinan “sembuh”-nya akan semakin jauh dan dikhawatirkan mereka akan menjadi generasi yang hilang.

Sel otak tidak sempurna
Sepuluh tahun lalu penyebab autisma masih merupakan misteri. Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuat dengan autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak). Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak sempurna.
Penyebabnya bisa karena virus (toxoplasmosis, cytomegalo, rubela dan herpes) atau jamur (Candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga karena selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang meracuni janin. Kekurangan jumlah sel otak ini tidak mungkin diperbaiki dengan cara apa pun. Namun, ternyata setiap penyandang mempunyai cara berbeda untuk mengatasi kekurangan tersebut. Sebaliknya ada makanan tertentu yang mempunyai pengaruh memperberat gejala. Ada pula penderita yang menderita gangguan pencernaan, metabolisme serta imunodefisiensi dan alergi.
Menurut para peneliti, faktor genetik juga memegang peranan kuat, dan ini terus diteliti. Pasalnya, manusia banyak mengalami mutasi genetik, yang bisa karena cara hidup yang semakin “modern” (penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, faktor udara yang semakin terpolusi).
Dengan ditemukannya faktor-faktor penyebab tadi akan semakin mudah bagi para pakar untuk memberikan terapi yang lebih tepat sasaran.

Intervensi dini
Apakah autisma dapat disembuhkan? Pertanyaan ini selalu dilontarkan oleh para orangtua penyandang. Autisma memang merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Gejalanya tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi dan perilaku. Walaupun gangguan neurobiologis tidak bisa diobati, tapi gejala-gejalanya bisa dihilangkan atau dikurangi, sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non-autis, mana anak autis.Semakin dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk “sembuh”. Penyandang autisma dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Namun gejala yang ada pada setiap anak sangat bervariasi, dari yang terberat sampai yang teringan. “Kesembuhan” dipengaruhi oleh berbagai faktor: gejalanya ringan, kecerdasan cukup (50% lebih penyandang mempunyai kecerdasan kurang), cukup cepat dalam belajar berbicara (20% penyandang autisma tetap tidak bisa berbicara sampai dewasa), usia (2 – 5 tahun), dan tentu saja intervensi dini yang tepat dan intensif.
Tidak jarang seorang penyandang autisma sangat ringan dengan taraf kecerdasan normal, dapat mengalami perkembangan yang baik tanpa terapi apa pun. Saat dewasa, ia tidak berbeda dengan teman-temannya yang tidak autistik.
Intervensi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Yang penting, berusaha merangsang anak secara intensif sedini mungkin pada usia 2-5 tahun, sehingga ia mampu keluar dari “dunia”-nya.

Dibantu terapi di rumah
Salah satu metoda intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metoda Applied Behavioral Analysis (ABA). Kelebihan metode ini dibanding metode lain adalah sifatnya yang sangat terstruktur, kurikulumnya jelas, dan keberhasilannya bisa dinilai secara obyektif. Penatalaksanaannya dilakukan 4 – 8 jam sehari.
Melalui metode ini, anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat. Misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misalnya memaksakan kehendak) menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Maklumlah, bila latihan ini tidak dijalankan secara konsisten, maka perilaku itu akan sulit diubah. Bila sudah dewasa nanti anak seperti itu acapkali akan dikatakan kurang mengenal sopan-santun.
Di Indonesia metode modifikasi ini lebih dikenal sebagai Metode Lovaas (nama orang yang mengembangkannya) yang oleh Yayasan Autisma Indonesia (YAI) terus disebarluaskan. Secara berkala YAI mengadakan pelatihan bagi orang tua penyandang agar mereka bisa melakukan sendiri terapi di rumah. Namun pelaksanaannya harus benar-benar tepat. Kalau sampai salah, hasilnya akan mengecewakan sehingga tentu akan merugikan si anak. Waktunya terbuang percuma, padahal bila dilakukan secara intensif dan konsisten program terapi ini bisa selesai dalam 1 – 2 tahun.

Masuk kelompok khusus
Biasanya setelah 1 – 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil. Bahkan ada yang siap masuk kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk ke kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapat kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan pelbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, dan ortopedagog.
Anak dengan kecerdasan normal yang sudah siap masuk ke sekolah umum pun masih bisa mendapatkan penanganan khusus bila diperlukan. Di sekolah umum, peran guru sangat penting. Namun dalam kenyataan, banyak sekolah yang menolak menerima murid penyandang autisma.
Permasalahan anak autis di sekolah umum yang menonjol antara lain kurangnya kemampuan berkonsentrasi, perilaku yang tidak patuh, serta kesulitan bersosialisasi. Sebab itu pada beberapa bulan pertama mereka masih memerlukan pendamping di kelas. Pendamping ini membantu guru mengendalikan perilaku si anak dan mengingatkan anak setiap kali perhatiannya beralih. Begitu si anak sudah mampu menyesuaikan diri dalam kelas, pendamping tidak diperlukan lagi.
Sayang tidak semua penyandang autisma bisa mengikuti pendidikan formal, meski yang tingkat kecerdasannya kurang masih bisa masuk sekolah luar biasa (SLB-C). Bagaimanapun, kalau perilaku si anak tidak bisa diperbaiki: sangat semaunya sendiri, agresif, hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi, memang ia akan sulit ditampung di sekolah umum. Ia mengganggu tata tertib kelas. Baru setelah perilaku tersebut diperbaiki dengan bantuan obat, anak bisa mengikuti proses belajar.
Kapan perlu obat
Banyak orangtua takut memberikan obat pada penderita. Memang benar, penyandang jangan diberi sembarang obat, tapi obat harus diberikan bila timbul indikasi kuat. Gejala yang sebaiknya dihilangkan dengan obat: hiperaktivitas yang hebat, menyakiti diri sendiri, menyakiti orang lain (agresif), merusak(destruktif), dan gangguan tidur.
Tidak ada satu pun obat yang dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Lagipula obat-obatan itu kebanyakan dipakai untuk menghilangkan gejala. Namun, bila ditemukan gangguan pada susunan saraf pusat, pengobatan bisa lebih terarah. Beberapa jenis obat bahkan mempunyai efek sangat bagus untuk menimbulkan respons anak terhadap dunia luar. Dengan pemakaian obat, intervensi dini maupun penatalaksanaan lain akan lebih cepat berhasil. Bila keberhasilan sudah stabil, obat bisa dihentikan.
Reaksi anak terhadap obat berbeda-beda, ada anak yang cocok dengan obat A, tapi tidak cocok dengan obat B atau sebaliknya. Vitamin sekalipun bisa mempunyai efek samping yang tidak diinginkan. Jadi hendaknya pengobatan selalu di bawah anjuran dokter. Namun orang tua seyogyanya menanyakan kegunaan setiap obat serta efek samping yang bisa timbul. Memang benar, kerjasama yang erat antara orang tua dan dokter yang menangani sangat penting, sebab ini merupakan kunci menuju “kesembuhan”.
(dr. Melly Budhiman Sp.Kj., psikiater anak – ketua Yayasan Autisma Indonesia)

sumber